BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Pengertian NAPZA
1.
Narkoba adalah
istilah yang merupakan singkatan dari Narkotika, psikotropika dan bahan adiktif
lain. Narkoba termasuk golongan bahan atau zat yang jika masuk kedalam tubuh
akan mempengaruhi fungsi-fungsi yang dapat merusak tubuh terutama otak. Narkoba
juga termasuk bahan adiktif karena dapat menimbulkan ketergantungan dan juga
termasuk sebagai zat psikoaktif yang dapat mempengaruhi sistem kerja otak
sehingga mengubah prilaku pemakainya menjadi cenderung lebih negativ.(BNN.2010)
a.
Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun
semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
b.
Psikotropika
adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Lebih sering
digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa.
c.
Bahan adiktif
lainnya adalah zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang
berpengaruh pada kerja otak dan dapat menimbulkan ketergantungan. (UU No.22
Tahun 1997 tentang Narkotika) bahan ini bisa mengarahkan atau sebagai jalan
adiksi terhadap narkotika.
d.
Dalam istilah
para ulama, narkoba ini masuk dalam pembahasan mufattirot (pembuat lemah) atau
mukhoddirot (pembuat mati rasa).
B.
Jenis-Jenis NAPZA (Subagyo Partodiharjo.2004)
Banyak
sekali jenis-jenis narkotika yang terkadang masyarakat tidak mengetahuinya,
baik bentuk dan bahayanya apabila menggunakan narkotika tersebut. Dalam UD No
35 tahun 2009 tentang narkotika, disebutkan bahwa narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Yang dibedakan dalam 3 golongan, yaitu :
1.
Narkotika
golongan 1
Berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan,
tidak digunakan untuk terapi.
Contoh : heroina, kokaina, tanaman ganja dan
amfetamina dan lainya
2.
Narkotika
golongan II
Berpotensi tidak menyebabkan ketergantungan,
digunakan pada terapi sebagai pilihan terakhir.
Contoh : morfina dan lainnya
3.
Narkotika
golongan III
Berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan dan
banyak digunakan dalam terapi
Contoh : kodeina dan lainnya
Berdasarkan
cara pembuatannya, narkotika dibedakan kedalam 3 golongan, yaitu :
1.
Narkotika alami
Diambil dari tumbuh-tumbuhan
2.
Narkotika semi
sintetik
Narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya
3.
Narkotika
sintetik
Narkotika palsu yang dibuat dari bahan kimia
C.
Penyebab penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan
dan ketergantungan narkotika terjadi akibat interaksi tiga factor yaitu :
1.
Factor narkotika
Semua jenis narkotika bekerja pada bagian otak yang
menjadi pusat penghayatan kenikmatan, termasuk stimulasi seksual. Oleh karena
itu penggunaan narkotika ingin diulangi lagi untuk mendapatkan kenikmatan yang
diinginkan sesuai dengan khasiat farmakologinya.
2.
Factor individu
Kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau
terdapat pada remaja atau masa sekolah, sebab remaja atau pelajar yang sedang
mengalami perubahan biologic, psikologik maupun social yang pesat merupakan
individu yang rentan menyalahgunakan narkotika. Perubahan tersebut yaitu:
a.
Perubahan
biologic
Mulai
seperti postur badan orang dewasa dan ciri-ciri seksual sekunder mulai tampak
b.
Perubahan
psikologik
Mulai
melepaskan ikatan emosional dengan orangtuanya dalam rangka membentuk identitas
diri.
c.
Perubahan social
Dalam
rangka melonggarkan ikatan dengan orang tuanya, remaja membutuhkan teman
sebayanya, minat terhadap lawan jenis juga mulai timbul. Diterimanya seorang
remaja dalam kelompok merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang remaja.
3.
Factor
lingkungan
a.
Lingkungan
keluarga
b.
Lingkungan
sekolah
c.
Lingkungan
masyarakat
D.
Bahaya NAPZA
Kebanyakan
zat didalam narkotika digunakan untuk pengobatan dan penelitian. Tetapi karena
berbagai alasan mulai dari keinginan untuk coba-coba, ikut trend atau gaya,
lambing status social, ingin melupakan persoalan dan lainnya. Maka narkotika
kemudian disalahgunakan, penggunaan terus menerus dan berlanjut akan
menyebabkan ketergantungan atau dependensi atau kecanduan.
1.
Ganja
Bahaya : skizofrenia
2.
Ekstasi
Bahaya : depresi, gangguan jiwa dan kerusakan otak
dll
3.
Shabu
Bahaya : stroke dan kematian
4.
Heroin
Bahaya : apatis, gejala sakauw, overdosis dan
kematian
E.
Penanggulangan NAPZA
(Ira Erwinaa.2008)
1. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya
dengan:
a. Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif
tentang NAPZA
b. Deteksi dini
perubahan perilaku
c. Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau
“Katakan tidak pada narkoba”
2.
Pengobatan
Terapi pengobatan
bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara
yaitu:
a.
Detoksifikasi
tanpa subsitusi
Klien
ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala
putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya
dibiarkan saja sampai gejala
putus zat tersebut berhenti sendiri.
b.
Detoksifikasi
dengan substitusi
Putau
atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein,
bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol
dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama
pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur
atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.
3.
Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan
secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan
religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat
mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin.
Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik
fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus
memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ ketergantungan NAPZA
menjalani program
terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan
dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat
melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).
Klien tersebut
akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6
bulan. Lama rawat di unit
rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan
dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.
F.
Pengertian Metode
Metode
adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan dengan
hasil yang efektif dan efisien. Efektif artinya antara biaya, tenaga dan waktu
seimbang dan efisien artinya suatu yang berkenaan dengan pencapaian suatu hasil
(Asmuni Syukir.2000)
G.
Modalitas Terapi NAPZA
Berbagai kondisi
yang mandasari gangguan penggunaan narkoba akan mempengaruhi jenis pengobatan
yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan memulangkan
pasien, hasil yang dlharapkan, sumber daya manusia yang akan memberikan
pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Ada beberapa model
pengobatan/terapi (rehabilitasi) yang popular dilaksanakan pada masalah
gangguan penggunaan narkoba, antara lain:
1.
Therapeutic Community
-TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa gangguan penggunaan NAPZA
adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma
perilaku diterapkan secara nyata dan ketat yang diyakinkan dan diperkuat dengan
memberikan reward dan sanksi yang spesifik secara langsung untuk mengembangkan
kemampuan mengontrol diri dan sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan
meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan
kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang
hirarki, diberikan juga keistimewaan (privileges) dan tanggung jawab.
Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial, pendidikan formal dan
pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan perawatan inap dengan
periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas bulan yang diikuti dengan
program aftercare jangka pendek
2.
Model Medik, model ini berbasis pada biologik
dan genetik atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan
dokter dan memerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta
perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program
rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di
masyarakat.
3.
Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden
Foundation dan Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau
bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Model Minessota menggunakan
program spesifik yang berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap
dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous
atau Narcotics Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan
pasien secara individu. Fase perawatan rawat inap termasuk; terapi kelompok,
terapi keluarga untuk kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan
adiksi, pemulihan dan program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional
seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict
counselor.
4.
Model Eklektik, model ini menerapkan
pendekatan secara holistik dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan
kognitif melalui penerapan program 12 langkah merupakan pelengkap program TC
yang menggunakan pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi
masalah yang ada pada setiap pasien adiksi.
5.
Model Multi Disiplin, program ini merupakan
pendekatan yang lebih komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang
terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien.
6.
Model Tradisional, tergantung pada kondisi
setempat dan terinpirasi dari hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini
sudah dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau
tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri dari : medikasi, pengobatan
alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh :
pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal.
7.
Faith Based Model,
sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi.
Kemajuan akan dibuat
grafik sesuai dengan rangkaian pengobatan dari keadaan ketergantungan menjadi
tidak ketergantungan narkoba secara lengkap. Proses penyembuhan bagi pecandu
dapat dilakukan dengan cara bertahap, yakni;
1. Pra Pengobatan
a.
Identifikasi dan Intervensi Krisis
b.
Penerimaan dalam program
c.
OrientasiDetoksifikasi
d.
Pengobatan Komorbiditas, masalah medis dan psikiatris
2. Program
Primer
a.
Program terapi untuk pasien dan keluarga
b.
Pendidikan
c.
Rekreasi
d.
Spiritual
e.
Perawatan kesehatan baik fisik maupun mental
f.
Kesadaran diri
g.
Evaluasi
3. Perawatan
Sekunder (Secondary Care)
a.
Lanjutan konseling untuk pasien dan keluarga
b.
Rekreasi
c.
Pendidikan
d.
Spiritual
e.
Perawatan kesehatan
f.
Dukungan sebaya
g.
Rehabilitasi vokasional
h.
Pencegahan kekambuhan
i.
Aftercare
H.
Therapeutic
Community
- TC Model
Kini yang akan kita bahas adalah rehab model TC. Mungkin di
antara Sobat Gen Benar, ada yang pernah mendengar Therapeutic Community atau
TC. TC pada awalnya diterapkan untuk pasien psikiatri dan dikembangkan sejak
perang dunia kedua.
Awal mula munculnya TC ini adalah dari munculnya kelompok
kecil yang saling membantu dan mendukung proses pemulihan yang pada awalnya
sangat dipernagruhi oleh gerakan alcoholic anonymous. Metode TC diadopsi dari
konsep Timur, namum dikembangkan di New York, AS.Konsep ini kemudian diterapkan
pada awalnya di Philipina, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Berdasarkan jurnal penyalahgunaan narkoba (UNDPC, 1990),
metode ini memiliki tingkat keberhasilan sebesar 80%, dengan indikatornya,
sipenyalahguna berhasil bertahan pada kondisi bebas zat (abstinensia) dalam
waktu yang lebih lama, dengan catatan residen tersebut mengikuti seluruh
tahapan hingga selesai.Oleh karena itulah metode ini dipertimbangkan oleh
Depertemen Sosial, guna mengembangkan pelayanan dan rehabilitasi social.
Dalam model rehabilitasi TC, residenakanmenjalanibeberapatahapan,
antara lain:
1. Primary Stage, yaitu tahapan program rehabilitasi
social, di mana residen ditempa untuk memiliki stabilitas fisik, dan emosi.
Residen juga dipacu motivasinya untuk melanjutkan tahap terapi selanjutnya
2. Re-Entry Stage, adalah tahapan program
rehabilitasi, di mana residen mulai memantapkan kondisi psikologis dalam
dirinya, mendayagunakan nalarnya dan mampu mengembangkan keterampilan social
dalam kehidupan bermasyarakat
3. Aftercare,adalahsuatu program yang terdiri
dari berbagai macam intervensi, pelayanan dan asistensi yang disediakan untuk recovery,
yang merupakan kelanjutan dari program primer atau primary treatment, yaitu Primary
Stage, re-entry program
Penjelasan :
1.
Primary Stage
Periode tahap ini berlangsung selama
kurang lebih 6 hingga 9 bulan. Para residen akan menjalani tahapan sebagai
berikut;
a. Younger Member
Pada tahap
ini, residen mengikuti program dengan proaktif. Residen wajib mengikuti
aturan-aturan yang ada, dan jika melanggar maka akan mendapatkan sangsi. Pada
tahapan ini, residen boleh dikunjungi oleh orang tua atau keluarga selama satu
kali dalam 2 minggu. Pertemuan residen dan keluarga ini juga didampingi oleh
relawan sosial, dan senior di program TC. Selain itu, residen boleh menerima
telepon namun didampingi oleh residen senior atau relawan.
b. Middle Peer
Pada tahap
ini, residen sudah harus bertanggung jawab pada sebagian pelaksanaan
operasional panti atau lembaga, membimbing younger member,dan residen yang
masih dalam proses orientasi, menerima telepon tanpa pendamping, meninggalkan
panti didampingi orang tua dan senior, secara bertahap dari mulai 4 jam hingga
12 jam. Pada tahap ini, residen bisa berperan sebagai buddy (pendamping ) bagi
residen yang baru masuk
c. Older Member
Pada tahap
ini, tanggung jawab residen semakin besar, karena ia harus memikirkan staf dan
memikirkan seluruh operasional panti, dan memiliki tanggung jawab pada residen
yunior. Jika residen ini melakukan kesalahan, maka sanksi yang dikenakan
padanya tanpa toleransi. Namun di sisi lainnya, residen pada tahap ini boleh
meninggalkan panti selama 24 jam, dengan pendampingan keluarga dan senior. Setelah
melewati tahapan awal dan evaluasi, maka jika dinyatakan lulus residen berhak
masuk ke tahap lanjutan
1) Morning Meeting
Kegiatan ini dilakukan setiap pagi
oleh para residen. Bentuk kegiatan ini adalah forum untuk membangun nilai dan
sistem kehidupan yang baru berdasarkan filosofi TC. Dalam kegiatan ini, residen
membacakan filisofi yang tertulis, memberikan pernyataan pribadi, mengemumakan
konsep hari ini, mendapatkan nasehat atau peringatan, mendapatkan pengumuman
yang berkaitan dengan kepentingan bersama, dan juga menjalani permainan. Tujuan
dari kegiatan ini semua antara lain untuk mengawali agar hari tersebut jauh
lebih baik, meningkatkan kepercayaan diri, melatih kejujuran, mengindentifikasi
perasaan, dan menanggapi isu dalam rumah residen yang harus diselesaikan.
2) Encounter Group
Dalam sesi ini, residen diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan perasaan marah, sedih, kecewa, dan lain-lain.
Setiap residen berhak menuliskan di atas secarik kertas, yang berisi ungkapan
kekesalan, kekecewaan, atau kemarahan yang ditujukan pada orang tertentu.
Kegiatan ini biasanya dilaksanakan 1 kali dalam seminggu, dengan durasi 2 jam.
Acara ini biasanya ditutup dengan hal-hal yang sifatnya rileks. Tujuan kegiatan
ini untuk membangun komunitas yang sehat, menjadikan komunitas personal yang
bertanggung jawab, berani mengungkapkan perasaan, membangun kedisiplinan, dan
meningkatkan tanggung jawab
3) Static Group
Ini adalah bentuk kelompok yang
bertujuan untuk mengubah perilaku dalam TC. Kelompok ini membicarakan tentang
berbagai isu dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan yang sudah lalu, yang
tujuannya adalah untuk membangun kepercayaan antar sesama residen,
membangkirkan percaya diri, dan mencari solusi dari permasalahan yang ada.
4) PAGE (Peer Accountabillity Group
Evaluation)
Dalam segmen ini, residen
mendapatkan kesempatan untuk dapat memberikan satu penilaian positif dan
negatif dalam kehidupan sehari-hari terhadap sesama residen. Dalam kelompok ini
tiap residen dilatih meningkatkan kepekaan terhadap perilaku komunitas. Residen
dikelompokan sesuai statusnya, yang mana setiap anggotanya terdiri dari 10
hingga 15 orang. Dalam sesi ini, setiap anggota akan membahas baik buruk
perilaku seorang residen dalam kelompok.
5) Haircut
Residen yang melakukan kesalahan
secara berulang-ulang dan telah diberikan sanksi akan diberikan sanksi. Para
petugas akan menunjukkan rasa kecewa akan kesalahan yang diperbuat oleh
residen. Petugas mengekspresikan kekesalan ini dengan menaikkan volume suara,
dan menatap dengan tajam.
6) Weekend Wrap Up
Para residen diberikan kesempatan
untuk membahas apa saja yang dialami selama satu minggu. Kelompok ini terfokus
pada residen yang mendapatkan kelonggaran untuk keluar bersama keluarga ataupun
teman angkatannya.
7) Learning Experiences
Ini adalah bentuk sanksi yang
diberikan setelah menjalani haircut, family haircut, dan general meeting.
Tujuan dari fase ini adalah agar residen bisa belajar dari pengalaman sehingga
mereka bisa mengubah perilaku.
2. Re-Entry Stage
Tahap ini merupakan lanjutan dari
tahap primer, yang tujuannya untuk mengembalikan residen ke dalam kehidupan
masyarakat pada umumnya. Tahap ini dilaksanakan selama 3 hingga 6 bulan.
Tahapan ini mencakup ;
a. Orientasi
Ini adalah tahap penyesuaian residen
dengan lingkungan re-entry. Pada masa orientasi ini, residen didampingin oleh
buddy (pendamping) yang ditunjuk oleh staf. Selama masa ini, residen tidak
boleh meninggalkanpanti, dan tidak berhak mendapatkan uang jajan, bertemu orang
tua, dan bisa mendapatkan sanksi berupa tugas-tugas pekerjaan rumah
b. Fase A
Dalam fase ini, residen sudah
mendapatkan hak-haknya seperti uang jajan setiap minggu, kunjungan orang tua
setiap waktu, ijin pulang satu kali dalam dua minggu selama satu malam, dan
boleh beraktivitas di luar panti bersama residen lainnya. Tahap ini dijalani
selama kurang lebih 1,5 hingga 2 bulan. Tujuannya agar si residen terlatih
untuk menghadapi masalah dalam keluarga dan memecahkannya, dan melatih
kemampuan residen dalam memenej waktu dan uang.
c. Fase B
Pada fase ini, residen boleh melakukan
aktivitas di luar seperti les, kuliah atau bekerja. Selain itu, residen juga
berhak mendapatkan tambahan uang saku yang sesuai dengan kebutuhannya, dan
memperoleh ijin untuk menginap 2 malam, dalam dua minggu, yaitu pada hari
Jumat, Sabtu, dan Minggu. Tujuan fase ini adalah agar residen bisa
mengimplementasikan rencana yang dibuat pada fase A, sehingga bisa mencapai
karir dan tujuan kehidupan.
d. Fase C
Pada fase ini, residen boleh pulang,
dengan lebih leluasa artinya ia bisa memilih hari, bukan hanya di akhir pekan
seperti pada fase sebelumnya. Selain itu residen bahkan diperbolehkan pulang
hingga satu pekan (tergantung dari penilaian staf). Jika residen sudah
melewati fase A hingga C, maka yang bersangkutan akan mendapatkan konseling
perorangan untuk menentukan apakah residen bisa resosialisasi ke masyarakat
atau tidak.
Kegiatan dalam tahap Re- Entry ;
a.
Group
Re-Entry, adalah wadah untuk menempa residen menjadi pribadi yang memiliki sikap
dan perilaku yang lebih baik
b.
Treatment,
terdiri dari tiga unsur antara lain
c.
Allowances/uang
saku
Residen akan mendapatkan kepercayaan
untuk memegang uang dalam jumlah tertentu untuk kepentingan sehari-hari. Di
luar kepentingan, residen bisa meminta uang tambahan pada konselor
1.
Task
Dalam re-entry, residen yang
melakukan kesalahan bisa mendapatkan sanksi, namun tidak seperti sanksi yang
dikenakan pada tahap awal. Sanksi yang diterima tidak terlalu berat
2.
Home
Leave/Business Pass
Residen bisa meninggalkan TC, dengan
tujuan agar bisa lebih dekat dengan keluarga.
3.
Spiritual
Dalam re-entry, ada kelas keagamaan
setiap harinya. Bagi yang beragama islam juga ditekankan untuk selalu menjalani
sholat lima waktu.
4.
Counseling
Pada tahap ini, residen akan
menemukan banyak konseling, karena para residen akan menghadapi banyak masalah
baru. Karena itulah peran konselor cukup vital, karena konselor akan memberikan
sudut pandangnya pada residen mengenai masalah yang dihadapi oleh si residen.
5.
Les,
Kuliah atau Bekerja
Para residen boleh melakukan tiga
hal di atas, sehingga mereka bisa kembali ke dunia nyata dan bisa
bersosialiasasi dengan lingkungan. Dengan kegiatan di atas, residen bisa
meningkatkan kompetensi dirinya di luar sehingga bisa menjadi bekal dalam kehidupan
di masa yang akan dating
6.
Time
Management
Di dalam re-entry waktu senggang banyak
sekali ditemukan. Karena itulah, residen harus bisa mengelola waktu yang ada
dengan maksimal setiap harinya. Residen harus bisa menunjukan inisiatifnya diri
sendiri untuk memanfaatkan waktu luang yang ada.
7.
Request
Residen berhak meminta barang-barang
yang mereka inginkan atau perlukan. Namun staf tidak bisa begitu saja
mengabulkan permintaan mereka, karena tetap harus disaring
8.
Night
entertainment
Untuk menguatkan mental residen,
staf memperbolehkan residen untuk ke luar ke tempat hiburan namun dalam pengawasan
staf atau keluarga
9.
Home
Leave
Residen boleh meninggalkan tempat
TC, dan pergi bersama teman, namun tetap sebelumnya ada kesepakatan dari pihak
kelompok. Yang kedua, residen boleh request menelpon teman, dengan persetujuan
dari staf dan orang tua
10.
Business
Pass
Residen boleh keluar selama 1 hari
tanpa menginap untuk memenuhi keperluannya, seperti mengurusi masalah les,
kuliah, pesta pernikahan, atau keperluan lainnya.
11.
Leisure
Time
Waktu luang yang ada di tempat
rehab, bisa dimanfaatkan untuk aktivitas positif seperti membaca koran, olahraga,
menulis dan lain-lainnya
12.
Outdoor
Sport
Kegiatan olahraga bersama-sama yang
dilakukan di luar panti dan didampingi oleh staf atau residen yang senior.
13.
Static
Outing
Bersama dengan para konselor,
Kelompok kecil dalam tahap re-entry (2-5 residen) melakukan kegiatan di
luar panti yang tujuannya untuk mempererat hubungan antara satu sama lain.
I.
Agama Dalam Penanganan Masalah Penyalahgunaan NAPZA
1.
Peran agama
dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA
Indonesia pada mulanya hanya sebagai tempat transit
peredaran narkoba, kemudian berubah telah menjadi tempat penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba bahkan telah menjadi sumber pembuatannya sebagaimana
terungkapnya adanya pabrik pembuatan extasy. Perkembangan baik kuantitatif
maupun kualitatif penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba semakin meningkat
sampai pada tingkat membahayakan. Bahaya narkoba (Napza) mengancam kelangsungan
hidup dan kehidupan serta pembangunan Nasional.
Hal itu diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap bahaya Narkoba, memudahkan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Napza).
Hal itu diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap bahaya Narkoba, memudahkan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Napza).
Disamping itu disinyalir kurang gencar dan tepadunya semua pihak untuk mengantisipasi penyalahgunaan Narkoba ini; Termasuk ringannya sanksi hukum bagi para pengedar dan bandar Narkoba (Napza) itu sendiri, mengakibatkan orang tidak jera berbisnis barang terlarang ini.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia telah menjadi masalah nasional dan mengglobal (mendunia). Untuk itu perlu ditangani secara terarah, terpadu dan berkesinambungan. Bagaimana upaya menanggulangi bahaya narkoba ini, dan bagaimana peran agama dalam resosiolisasi korban dari penyalahgunaan narkoba (Napza) itu sendiri.
2.
Narkoba menurut
pandangan agama Islam
Agama islam telah diperkuat dalam al-quran tentang
khamar (narkoba) seperti yang terdapat dalam firman allah :
Firman
Pertama memberi informasi bahwa narkoba memang bermanfaat tetapi bahayanya
lebih besar
Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya. (Q.S Al-Baqarah [2]:219);
kedua, penekanan bahwa narkoba yang dapat
menyebabkan seseorang kehilangan keseimbangan emosi dan pikiran. Allah melarang
seseorang salat dalam keadaan mabuk.
Firman
Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamusholat sedang kamu dalam
keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. (Q.S
Al-Nisâ‟[4]:43);
ketiga,
penegasan bhwa narkoba sesuatu yang menjijikkan, bagian dari kebiasaan setan
yang haram dikonsumsi.
Firman Allah, “Hai orang- orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka
jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S
Al-Mâ‟idah [5]:90).
Peran perawat berdasarkan agama islam adalah sebagai berikut:
- Advokat
perawat sebagai pemberi informasi mengenai napza
seperti dalam firman allah : “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari
manfaatnya. (Q.S Al-Baqarah [2]:219);
- Edukator
Peran perawat memberikan pendidikan atau penyuluhan
tentang dampak penyalah gunaan napza dan penekanan bahwa napza dapat merusak
pesikologi penggunaanya seperti dalam firman allah : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamusholat sedang kamu dalam
keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan”. (Q.S Al-Nisâ‟[4]:43);
c.
Rehabilitator
peran perawat menyembukah dan membuat penggunan
napza tidak lagi menggunakan napza kembali seperti dalam firman allah : “Hai orang-
orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan
setan. Maka jauhilah perbuatan- perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(Q.S Al-Mâ‟idah [5]:90).
Di dalam
realitasnya, ternyata pesantren tidak hanya menjadi tempat untuk mengajarkan
agama, akan tetapi juga mengajarkan bidang-bidang lain seperti agribisnis
dan bahkan juga untuk penyembuhan pecandu narkoba. Jika orang di masa
lalu menganggap pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional yang tertinggal
dalam banyak hal, maka sekarang hal itu sudah tidak lagi berlaku. Dewasa ini,
pesantren sudah menjadi lembaga pendidikan modern yang memiliki variasi program
pendidikannya.
Banyak
pesantren yang dewasa ini sudah memiliki lembaga pendidikan tinggi. Tidak hanya
pendidikan agama akan tetapi juga pendidikan umum. Dewasa ini sudah
terdapat gambaran tentang modernitas pesantren dalam manajemen dan tata
kelolanya. Jika di masa lalu pesantren hanya menggunakan metode pembelajaran,
seperti wetonan, bandongan dan sorogan, maka sekarang sudah menggunakan metode
modern dengan teknologi pembelajaran yang mutaakhir.
Para ahli pun
terkadang menjadi heran bahwa ternyata pesantren memiliki daya inovasi dan
kemampuan adaptasi yang sangat tinggi. Ketika Karel Steenbrink mengkaji tentang
pesantren juga akhirnya disimpulkan bahwa pesantren sudah berubah menjadi
lembaga yang mengadaptasi sistem madrasi dan bahkan sekolah. Ketika Hiroko
Horikhoshi melalukan penelitian, juga sampai pada kesimpulan bahwa pesantren
dengan kyainya ternyata menjadi mediator perubahan. Mastuhu juga sampai pada
kesimpulan bahwa kyai yang diduga menerapkan system kepemimpinan otoriter,
ternyata sekarang sudah menggunakan sistem kepemimpinan yang partisipatif.
Perubahan demi
perubahan yang dilakukan pesantren hakikatnya merupakan sebuah proses untuk
beradaptasi dengan modernitas yang juga tidak bisa ditolak oleh dunia pesantren
sekalipun. Akan tetapi pesantren tentu saja memiliki kemampuan cerdas,
yaitu menyaring yang baik untuk digunakan dan yang jelek dibuang. Di dunia
akademis dikenal adanya konsep cultural broker dan mediator untuk menggambarkan
peran pesantren di dalam perubahan social.
Yang menarik
tentu saja adalah pesantren yang memiliki peran untuk penyembuhan pengguna
narkoba. Dewasa ini sudah banyak pesantren yang menyelenggarakan program ini.
Jika dahulu hanya pesantren Suryalaya, Tasikmalaya yang dipimpin oleh Abah Anom
yang mengembangkan diri sebagai pesantren yang menampung para penderita
narkoba, maka sekarang sudah benyak yang mengikutinya.
Di Pasuruan,
misalnya Pesantren Metal yang di asuh KH. Abubakar Cholil, yang akrab disapa
“Mas Bakar” oleh para santri-santrinya. Keberadaan Pondok Metal Nama lengkap
Ponpes ini adalah : Metal Moeslim Al-hidayat, yang beralamat di Rejoso Lor
Pasuruan. Pesantren ini sering diidentifikasi sebagai pesantrennya orang yang
pernah bermasalah. Tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah social. Di
sini banyak dijumpai mantan preman, mantan penjambret dan juga mantan pengguna
narkoba. Pesantren ini memang berbeda dengan pesantren Suryalaya yang
mengkhusukan program penyembuhan pecandu narkoba. Pesantren Metal memilih
menangani semua persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
Di dalam proses
penyembuhannya, maka yang dilakukan adalah dengan menggunakan terapi air. Bukan
hanya diminum akan tetapi juga melalui proses mandi taubat yang dilakukan jam
2-3 malam. Melalui terapi air ini maka akan terdapat proses pengembalian
syaraf-syaraf yang telah lama terpengaruh oleh dampak negative narkoba. Secara
rutin proses terapi air tersebut dilakukan sampai yang bersangkutan memiliki
kesadaran baru tentang dirinya. Jika kesadaran baru tersebut telah didapatkan,
maka dilanjutkan dengan dzikir secara terstruktur.
Pada dasarnya,
bahwa pecandu narkoba adalah orang yang kehilangan imannya. Maka proses
yang paling penting adalah mengembalikan iman tersebut di dalam dirinya.
Jika mandi merupakan terapi fisik untuk mengembalikan syaraf-syarafnya
yang terganggu, maka dzikir adalah untuk mengembalikan imannya. Melalui dua
metode terapi ini, maka seseorang yang kecanduan narkoba akan bisa dikembalikan
kepada situasi normal sebagaimana semula. Waktu penyembuhan sekitar 3 bulan.
Dengan
demikian, pesantren tidak hanya mengkhususkan diri di dalam
penyelenggaraan pendidikan agama, tetapi juga pendidikan umum dan bahkan
penyembuhan masalah-masalah social. Melalui program yang bervariasi
tersebut, maka pesantren ternyata memiliki peran yang jauh lebih luas dibanding
anggapan orang dewasa ini.
3.
Narkoba menurut
pandangan agama Kristen
Jika kita baca seluruh isi Alkitab, maka kita tidak akan
menemukan ayat yang menjelaskan secara gamblang tentang penyalahgunaan NARKOBA.
Namun secara implisit kita bisa memahami bagaimana Tuhan melalui firman-Nya
dalam Alkitab sangat murka terhadap masalah narkoba.
Referensi lain mencatat bahwa dalam terjemahan Inggris juga,
tidak ditemukan ayat dalam Alkitab yang membicarakan secara jelas dan spesifik
tentang penggunaan obat-obatan yang dapat menenangkan atau merangsang
halusinasi pemakai, tetapi kita akan melihat bahwa kata dalam bahasa Yunani
pharmakeia menunjuk kepada hal ini.
Selanjutnya Agama Kristen dikenal sebagai agama yang sangat
menonjolkan cinta kasih. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam
sumber-sumber agama ini jarang kita dapati larangan-larangan dan
ancaman-ancaman bagi yang melanggarnya. Namun demikian, agama Kristen Katolik
dan Protestan juga memandang narkoba sebagai barang haram, sebab memang dalam
narkoba itu terdapat unsur-unsur yang dapat merusak organ saraf. Mari
kitA baca ayat-ayat Alkitab berikut:
1 Korintus 10:31
Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau
jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk
kemuliaan Allah.
1 Korintus
6:19
Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait h Roh Kudus 1 yang diam di dalam kamu, Roh Kudus
yang kamu peroleh dari Allah, –dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?
Efesus 5:18
Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur
menimbulkan hawa nafsu (kata bahasa Yunani untuk “hawa nafsu” berarti “hidup
yang disia-siakan, tidak bermoral; tidak bersusila, berfoya-foya”).
Efesus: 5:11
“Janganlah turut mengambil bagian dalam
perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya
telanjangilah perbuatan-perbuatan itu,”
Matius: 16:24
Yesus berkata kepada murid-murid-Nya : “Setiap yang mau
mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku,”
Ibrani: 12:2
“Marilah kita melakukannya dengan mata tertuju kepada
Yesus, yang memimpin dalam iman dan yang membawa iman kita itu kepada
kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan…..,”
Menyimak ayat-ayat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
umat Kristiani dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang destruktif (merusak),
termasuk yang di dalamnya adalah penyalahgunaan narkoba. Sebaliknya sebagai
umat Kristiani, hendaknya mengikuti jejak Yesus. Adapun syarat untuk dapat
selalu mengikuti jejak Yesus ini adalah keharusan menyangkal setiap ajakan hawa
nafsu, salah satunya menyalahgunakan narkoba.
Ada juga firman-firman yang menyatakan bahwa kesulitan untuk
meninggalkan narkoba adalah hidup dalam salib yang harus dipanggul setiap hari.
Orang sudah kecanduan narkoba, akan terasa sangat berat untuk meninggalkannya.
Dengan atau tanpa disadari, si pecandu narkoba telah meninggalkan kayu salibnya
dan berjalan bersebrangan dengan Yesus. Karena telah sesat, maka para pecandu
narkoba itu akan ditegur dan diingatkan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam
firman berikut :
Menurut Agama Islam, penggunaan narkoba sangat diharamkan.
Kenapa? itu karena narkoba memiliki mudharat (daya rusak) yang sangat besar
ketimbang manfaat yang didapatkan. Adapun yang dapat mengambil manfaat dari
narkoba adalah kalangan medis, yaitu untuk menunjang upaya pengobatan pasien.
Untuk kepentingan tersebut, Islam memperbolehkannya dengan alasan tidak
menimbulkan kemudharatan bagi pasien yang diobati, bahkan sebaliknya bisa
mempercepat proses penyembuhan.
Dalam pandangan Agama Hindu, penyalahgunaan narkoba termasuk
dosa yang sangat besar. Agama Hindu juga memandang narkoba sebagai barang haram
yang sangat dilarang untuk mengkonsumsinya. Narkoba juga dipandang sebagai
penghalang bagi manusia untuk dekat dengan Tuhan.
Dalam ajaran Agama Budha, istilah narkoba disebutkan dengan
beberapa istilah, diantaranya Sura (segala sesuatu yang dapat
membuat nekat), Meraya (sesuatu yang membuat mabuk alias
teler), Majja (sesuatu yang tak sadarkan diri seperti ganja
dan morphin), Pamadatthama (sesuatu yang menjadi besar dari
kelengahan). Dalam pandangan agama Budha sudah sangat jelas dijabarkan bahwa
segala sesuatu yang dikonsumsi dan berpengaruh buruk terhadap fungsi akal
manusia adalah tergolong narkoba, dan hukumnya adalah dilarang (haram).
Menghindari bahan yang menjadi ketagihan dan memabukkan adalah kewajiban yang
harus dijalani oleh umat Budha. Diantaranya obat bius, obat tidur, obat tenang,
minuman keras, termasuk juga segala bentuk Narkotika, yang dapat menghancurkan
konsentrasi atau meditasi agama.
Akhirnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa semua agama
yang diakui di Indonesia melarang dengan tegas penggunaan narkoba. Sebagai umat
Kristen kita harus banyak berdoa agar kita dapat menjaga tubuh kita dari
pengaruh tersebut karena kita dituntut untuk mempersembahkan tubuh kita menjadi
persembahan yang kudus.
4.
Narkoba menurut
pandangan gama Hindu
Para
sujana (orang bijaksana) mengatakan bahwa agama itu ibaratnya “rambu-rambu lalu
lintas” yakni memberi petunjuk jalan yang benar (dharma) dan melarang orang
(umatnya) untuk berbuat salah, kebatilan (adharma). Tentang hal itu banyak
tersurat dalam pustaka dan susastra Hindu diantaranya Sarasamuçcaya 14
menyebutkan :
“Ikang dharma ngaranya, hênuning marga mara ring swarga ika, kadi gatining parahu, an hênuning banyoga nêntasing tasik”.
Maksudnya
:
Yang
disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya
perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi
lautan.
Pada sloka berikutnya dipertegas lagi bahwa seperti prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, adalah memusnahkan segala macam dosa. Keutamaan dharma itu sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya; lagi pula dharma merupakan perlindungan orang berilmu, tegasnya hanya dharma yang dapat melebur dosa triloka (jagat tiga itu) SS. 16 dan 18.
Pada sloka berikutnya dipertegas lagi bahwa seperti prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, adalah memusnahkan segala macam dosa. Keutamaan dharma itu sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya; lagi pula dharma merupakan perlindungan orang berilmu, tegasnya hanya dharma yang dapat melebur dosa triloka (jagat tiga itu) SS. 16 dan 18.
Dengan mencermati makna sloka tersebut di atas tentu setiap orang diamanatkan untuk berbuat, berpikir maupun berucap yang baik dan benar. Lantas bagaimana bagi mereka yang telah terlanjur berbuat penyimpangan atau penyalahgunaan? Dalam hal ini agama selalu memberikan solusi atau jalan keluarnya yakni memotivasi orang untuk senantiasa berbuat baik (subha karma) sebagai pelebur perbuatan yang tidak baik (adharma) tersebut. Hanya dengan perbuatan baiklah orang akan memperbaiki segala dosa-dosanya, bukan jalan pintas dan sesat.
Bahkan ditegaskan bahwasannya hakikat penjelmaan ini adalah untuk berbuat baik guna melebur alias memperbaiki prilaku yang kurang/tidak baik, sebagaimana ucap Sarasamuçcaya sloka 2 sebagai berikut :
“Mānusah
sarwa bhūtesu, varttate vai śubhāsubhe aśubhesu samavistam subhesvevāvakārayet”
Maksudnya
:
Diantara
semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai (menjadi) manusia sajalah,
yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam
perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah guna/hakikat
(pahala) menjadi manusia.
Dari kutipan sloka di atas dapat diambil maknanya bahwa bagi mereka yang telah kena sebutlah sebagai korban Narkoba (Napza) harus tetap diterima dengan baik, serta merta dituntun untuk selalu memperbaiki diri untuk mendapatkan hari esok yang lebih baik.
Bila kita mengacu peran strategis agama dalam pembangunan di negara kita dikatakan sebagai “landasan moral, etika, serta sebagai motivator, inspirator dan dinamisator”.
Semua ungkapan tersebut di atas mengandung makna untuk senantiasa mendorong mengarahkan, menuntun umatnya untuk menuju kebaikan dan kebenaran.
Dengan demikian peran agama dalam resosialisasi korban Narkoba (Napza) ini sangat urgen.
Sebab
agama disamping bertujuan mendapatkan kesejahteraan dunia (jagadhita) tentunya
bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian jiwa/rohani (moksa).
Dalam kaitan pencegahan penyalahgunaan Napza ditinjau dari ajaran Hindu, dengan konsep Catur Marga (empat jalan) mencapai tujuan atau empat kiat menuju sukses dapat diterapkan dan diimplementasikan sebagai berikut :
Dalam kaitan pencegahan penyalahgunaan Napza ditinjau dari ajaran Hindu, dengan konsep Catur Marga (empat jalan) mencapai tujuan atau empat kiat menuju sukses dapat diterapkan dan diimplementasikan sebagai berikut :
1. Jñana
marga : yakni dengan jalan ilmu pengetahuan, dalam hal ini seseorang harus
belajar dari memahami dengan benar akibat buruk dari Narkoba (Napza) ini dan
sejauh mana kita mengkonsumsi/ mempergunakannya sehingga tidak membahayakan.
Selanjutnya kita harus memahami bagaimana caranya menerima mereka yang telah
terkena/kecanduan alias korban Napza itu sendiri.
2. Karma
marga : yang dimaksudkan disini adalah memberikan pekerjaan atau mengajak
mereka menekuni suatu kegiatan kerja dengan penuh tanggung jawab yang tentunya
diawali membekali mereka pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka menjadi
seorang pekerja yang tekun untuk tidak terjerumus lagi pada kancah kecanduan
Narkoba (Napza) tersebut.
3. Bhakti
marga : uaitu dengan rasa tulus dan ikhlas menerima mereka di masyarakat
sebagai warga masyarakat, jangan dikucilkan. Tuntunlah mereka dengan kecintaan
yang tulus dan mendalam dengan landasan “asah-asih-asuh” sehingga tidak
menyebabkan ketersinggungan dan rasa anti panti. Segala sesuatu yang dilandasi
rasa bhakti pasti akan menimbulkan kecintaan dan simpati.
4. Yoga
marga : dalam kaitan ini bagaimana kita bisa menuntun mereka untuk taat, patuh
dan berdisiplin serta menjaga hubungan yang harmoni dengan mereka sebagai
mantan (korban) Narkoba (Napza) itu sendiri. Hubungan yang harmoni akan dapat
menjalin komunikasi yang baik yang bermuara berhasil (suksesnya) suatu usaha.
Dalam hubungan ini peran Tri Guru utamanya Guru Rupaka yakni orang tua (pihak
keluarga) harus memperhatikannya dengan kesungguhan hati. Demikian juga Guru
Pengajian yaitu para Guru/Dosen di sekolah/kampus hendaknya dengan penuh rasa
cinta yang mendalam. Yang tidak kalah pentingnya adalah Guru Wisesa yakni
pemerintah baik dinas maupun adat/pakraman dapat menerima dan memperlakukan
dengan baik terarah, terpadu dan berkesinambungan niscaya tidak ada masalah
yang tidak terselesaikan dengan baik.
Peranan Catur Guru :
Peranan Catur Guru :
1. Guru
Rupaka
Sebagai orang tua
memegang peranan penting untuk memantau dan mengawasi putra-putrinya sehingga
tidak terkena bahaya narkoba.
2. Guru
Pengajian
Sebagai bapak/ibu guru
yang mengajar di sekolah tidak kalah pentingnya dalam hal menuntun, mengawasi,
dan memantau para siswanya ke arah hal yang positif sehingga tidak terkena
penyalah gunaan Napza.
3. Guru
Wisesa
Dalam hal ini sebagai
aparat pemerintah baik dinas maupun adat atau pekraman sangat potensial dan
punya wewenang untuk mengarahkan warga masyarakatnya termasuk para pelajar dan
remaja untuk menuju anggota masyarakat yang bermanfaat dan berguna dalam
pembangunan bangsa dan negara.
4. Guru
Swadyaya
Dalam hal ini Tuhan
Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi sebagai sumber dan kembalinya mahluk
ciptaan-Nya merupakan sumber mohon segala petunjuk dan tuntunan bagi umatnya
untuk menuju kerahayuan.
Demikianlah peranan Catur Guru sangat penting dan strategis dalam hal pencegahan penyalahgunaan Napza.
Demikianlah peranan Catur Guru sangat penting dan strategis dalam hal pencegahan penyalahgunaan Napza.
5.
Narkoba menurut
pandangan agama Budha
Menurut pandangan agama Budha tentang narkoba, menyebutnya
dengan isitlah yang terdiri dari 4
kosa kata yaitu :
a. Sura : Sesuatu yang membuat nekat, mengacu pada minuman keras yang mengandung alkohol
b. Meraya : Sesuatu yang membuat mabuk/kurangnya kewaspadaan
seperti minuman keras yang memabukkan.
c. Majja : Sesuatu yang membuat tak sadarkan diri seperti
ganja, morfin.
d. Pamadatthama :yang tidak menjadi dari dasar kelengahan/
kecerobohan.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa minuman keras
yang mengandung alkohol dan memabukkan termasuk narkoba adalah dilarang, karena
bahayanya akan merusak baik kepada jasmani maupun rohani manusia dan akan
menyeret seseorang ke alam baka.
Agama Budha juga menganjurkan agar menjauhnkan diri dari narkoba, seperti tertulis dalam kitab suci Budha yang berbunyi :
Agama Budha juga menganjurkan agar menjauhnkan diri dari narkoba, seperti tertulis dalam kitab suci Budha yang berbunyi :
(Paritta suci : 30) “Menjauhi melakukan kejahatan,
menghindari minuman keras, tekun melaksanakan dharma, itulah berkah utama”
(Partta suci : 24) “Aku bertekad akan melatih diri
menghindari minuman keras yang dapat melenyapkan lemahnya kesadaran”.
6.
Narkoba menurut
pandangan agama Kong Hu Cu
Menurut Kong Hu Cu orang yang minum minuman keras atau
narkoba dianggap tidak berbakti pada agamanya, sebagai mana tercantum dalam
Mengzi jilid IV B Li Lo 30.0. Mengzi ada lima hal yaitu :
a. Malas keempat anggota tubuhnya dan tidak memperhatikan pemeliharaan
terhadap orangtua
b. Suka berjudi dan mabuk-mabukan serta tidak memperhatikan
pemeliharaan terhadap orang tuannya
c. Tamak akan harta benda, hanya tahu istri dan anak
sehingga tidak memperhatikan pemeliharannya terhadap orang tua
d. Hanya menuruti keinginan mata dan telinganya, sehingga
memalukkan orang tua
e. Suka akan keberanian dan sering berkelahi, sehingga
membahayakan orang tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar